1. Argumen
yang diajukan oleh editor untuk membantah anggapan bahwa buku mereka
mencerminkan imperialisme budaya?
Dalam
diskusi mengenai dominasi bahasa dan budaya dalam penerbitan ilmiah, sering
muncul anggapan bahwa buku yang diterbitkan dalam bahasa Inggris mencerminkan
imperialisme budaya. Kritik ini berangkat dari pandangan bahwa penyebaran karya
ilmiah dalam satu bahasa dominan dapat menggeser keberagaman linguistik dan melemahkan
identitas budaya lokal. Namun, editor jurnal dan penerbit akademik memiliki
berbagai argumen untuk membantah anggapan ini. Artikel ini akan mengulas
berbagai pembelaan yang diajukan oleh editor terkait isu imperialisme budaya
dalam penerbitan akademik.
Budaya Bahasa Inggris sebagai
Alat Universal, Bukan Dominasi
Salah satu
argumen utama yang diajukan oleh editor adalah bahwa penggunaan bahasa Inggris
dalam publikasi akademik lebih merupakan alat komunikasi universal daripada
upaya mendominasi budaya lain. Hyland (2016) menyatakan bahwa "penggunaan
bahasa Inggris dalam publikasi ilmiah tidak selalu mencerminkan dominasi
budaya, melainkan lebih kepada kebutuhan untuk menjangkau audiens yang lebih
luas" (p. 92). Dengan kata lain, bahasa Inggris dipilih bukan karena ingin
menghapus keberagaman budaya, tetapi karena kemampuannya dalam menjembatani
komunikasi lintas negara.
Editor juga
menekankan bahwa banyak ilmuwan dari berbagai negara dengan sukarela memilih
untuk menulis dalam bahasa Inggris karena mereka ingin penelitian mereka diakui
secara internasional. Menurut Swales (2004), "banyak akademisi merasa
bahwa menulis dalam bahasa Inggris memberikan mereka peluang lebih besar untuk
berpartisipasi dalam diskusi ilmiah global" (p. 45). Dengan demikian, keputusan
untuk menggunakan bahasa Inggris dalam publikasi lebih bersifat pragmatis
daripada bentuk dominasi budaya.
Keberagaman Konten dalam Publikasi Ilmiah
Argumen lain
yang diajukan oleh editor adalah bahwa meskipun bahasa Inggris digunakan
sebagai medium utama, konten yang diterbitkan tetap mencerminkan perspektif
yang beragam dari berbagai budaya. Menurut Canagarajah (2002), "meskipun
bahasa Inggris menjadi medium utama, karya-karya akademik tetap mencerminkan
perspektif budaya yang berbeda dari berbagai penjuru dunia" (p. 78). Ini
menunjukkan bahwa bahasa Inggris tidak secara otomatis menghapus keberagaman
pandangan dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam literatur akademik.
Selain itu,
banyak jurnal internasional yang secara aktif mendorong partisipasi penulis
dari berbagai latar belakang budaya dan geografis. Hal ini bertujuan untuk
memastikan bahwa penelitian yang diterbitkan tidak hanya berasal dari
negara-negara berbahasa Inggris, tetapi juga dari akademisi di negara
berkembang yang memiliki wawasan dan perspektif unik.
Inisiatif Penerbit untuk Menjaga
Keberagaman Linguistik
Editor juga
membantah anggapan imperialisme budaya dengan menunjukkan berbagai inisiatif
yang dilakukan untuk menjaga keberagaman linguistik dalam publikasi akademik.
Salah satu langkah yang banyak diambil adalah menyediakan ringkasan atau
abstrak dalam berbagai bahasa lokal. Pérez-Llantada (2012) menyatakan bahwa
"menyediakan abstrak dalam bahasa lokal adalah salah satu cara untuk
mempertahankan keberagaman linguistik dalam dunia akademik" (p. 101).
Selain itu,
beberapa jurnal ilmiah juga telah mulai menerbitkan edisi multibahasa atau
memberikan opsi bagi penulis untuk menyertakan versi terjemahan dari artikel
mereka dalam bahasa asli mereka. Langkah ini menunjukkan bahwa penerbit
akademik tidak bertujuan untuk menghapus bahasa lain, tetapi justru berusaha
untuk mendukung keberagaman bahasa dalam publikasi ilmiah.
Peran Editor dalam Mendorong Kolaborasi
Global
Editor juga
menekankan bahwa penggunaan bahasa Inggris dalam publikasi ilmiah bertujuan
untuk mendorong kolaborasi global, bukan untuk menekan bahasa dan budaya lain.
Lillis dan Curry (2010) mengungkapkan bahwa "penggunaan bahasa Inggris
memungkinkan akademisi dari berbagai negara untuk bekerja sama dan berbagi ide tanpa
kendala bahasa yang signifikan" (p. 119). Kolaborasi ini penting untuk
kemajuan ilmu pengetahuan karena memungkinkan pertukaran ide yang lebih luas
dan mempercepat perkembangan penelitian.
Editor juga
berpendapat bahwa dalam era digital dan globalisasi, batasan linguistik semakin
kabur. Dengan adanya teknologi penerjemahan dan berbagai alat komunikasi
berbasis bahasa, peneliti dari berbagai latar belakang budaya dapat lebih mudah
mengakses dan berbagi pengetahuan tanpa harus merasa terpinggirkan oleh dominasi
bahasa tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar